Uma adalah penyebutan untuk rumah oleh masyarakat adat Mentawai. Uma tidak hanya bermakna sempit sebagai tempat tinggal semata. Uma adalah identitas bagi masyarakat Mentawai, mewakili suatu sub suku yang terdiri dari satu keluarga besar, yang tinggal bersama dalam satu bangunan. Uma juga adalah sebuah konsep pengetahuan masyarakat adat terhadap banyak hal terkait hubungan dengan pencipta dan leluhur, hubungan dengan manusia, dan hubungan dengan alam.
Menuju ke Mentawai, kita harus melalui Kota Padang, Sumatera Barat. Kemudian dari Pelabuhan Muara Padang memakai kapal cepat menuju Tuapeijat, ibukota Kabupaten Mentawai. Kursi di kapal penyeberangan terisi penuh oleh penduduk lokal dan turis asing. Mentawai dengan pantai dan ombak indahnya memang dikenal sebagai salah satu spot terbaik di dunia untuk berselancar.
Gerimis menyambut saya saat tiba di Tuapeijat. Beberapa pemuda adat Mentawai datang menjemput dengan sepeda motor. Kota kecil ini tidak begitu ramai untuk ukuran sebuah ibukota kabupaten. Pusat pertokoan ada di dekat pelabuhan. Jalan raya utama berbeton cukup lebar untuk dilalui dua mobil. Banyak kebun cengkeh di antara rumah-rumah. Lapak-lapak dagangan berjajar di sepanjang jalan menjajakan aneka rupa ikan segar.
Rapot, seorang pemuda Mentawai mengajak saya ke kantornya yang berbentuk rumah tradisional Mentawai, atau Uma. Ini adalah rumah panggung dari kayu dan beratap daun sagu. Seluruh material yang menyusun bangunan ini berasal dari alam, dari hutan dan ladang adat.
“Uma yang sebenarnya dibuat tanpa paku, hanya memakai anyaman rotan, dan memiliki pondasi kayu utuh di bagian tengah”, kata Radot.
Pondasi Uma ditanam dengan kedalaman sekitar dua meter di bawah permukaan tanah. Ukuran Uma sekitar 20 x 15 meter. Proses pembangunan bisa mencapai 1 bulan, dan dikerjakan oleh beberapa suku saling membantu.
Fungsi Uma selain sebagai tempat tinggal, adalah juga tempat berkumpul, tempat mengadakan pesta adat, tempat melantik Sikerei atau tabib, tempat bermusyawarah jika ada konflik. Biasanya ada 3-5 keluarga yang tinggal di sebuah Uma, dan dipimpin oleh seorang kepala suku, sehingga Uma juga menjadi simbol identitas keluarga atau suatu suku.
“Misalnya, kami di Mentawai biasa saling bertanya satu sama lain, ‘nama Uma-mu apa?’ Pertanyaan itu juga bermaksud sebagai ‘kamu dari suku apa’”, jelas Radot.
Ada beberapa bagian dalam sebuah Uma. Bagian depan atau gare untuk tempat mencuci kaki. Kemudian di ruang tengah ada pudejat untuk tempat bermusyawarah. Lalu ada ruang tamu.
Uma Sumber Pengetahuan
Bentuk, bahan material dan bagian-bagian di dalam Uma menggambarkan kesederhaan. Namun di balik itu, Uma adalah sumber pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat adat Mentawai. Salah satu kearifan lokal itu terkait dengan bencana alam gempa bumi. Mereka sudah teruji selama ratusan tahun jika bicara soal gempa bumi.
Dalam bahasa lokal, gempa bumi disebut dengan teteu kabaga atau sigeu-geu. Ketika gempa berskala kecil dan sedang terjadi, Uma dengan pondasinya yang tertanam di tanah akan bergoyang untuk memberikan tanda, sehingga mereka yang ada di dalamnya dapat meninggalkan rumah untuk memnimalkan korban. Dengan pengetahuan tradisionalnya, masyarakat adat Mentawai mampu membangun Uma yang tidak akan rubuh saat gempa. Paling tidak hanya miring saja dan bisa kembali ditegakkan secara gotong royong. Berbeda dengan rumah bergaya modern yang berbahan batu bata dan beratap genting.
Fungsi Uma lainnya sebagai sumber pengetahuan dan kearifan lokal adalah soal keragaman tanaman obat dan pangan. Mereka mengembangkan itu di ladang, tepian sungai, dan hutan adat yang dekat dengan uma. Masyarakat adat Mentawai tidak khawatir sakit bahkan kelaparan, sebab mereka memiliki cadangan tanaman pangan yang melimpah, seperti gobi atau ubi jalar, jalangjang atau keladi batang besar, palapa atau talas, sikobou atau keladi merah, laiket, duiji, dan lainnya. Pola penanaman untuk pisang dan keladi mengacu pada kemampuan membaca perbintangan atau yang mereka sebut dengan melihat bulan.
Ada pula pengetahuan soal pangan lainnya, seperti keliu yaitu pemeliharaan kepiting merah di sekitar belakang atau kolong Uma. Kepiting merah ini dipelihara untuk lauk sehari-hari. Ada toek atau semacam ulat yang sengaja dipelihara dengan membiarkan bangka kayu tunung yang diikat di sungai, sehingga ulat-ulat akan berkumpul dan menjadi salah satu sumber protein sehari-hari.
Orde Baru Menghancurkan Adat Mentawai
Sayangnya, uma kini sangat jarang ditemukan karena peristiwa kelam di masa lalu. Pada masa Orde Baru, masyarakat adat Mentawai dipaksa untuk memeluk agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah. Bersamaan dengan itu, dilakukan pembakaran massal terhadap Uma dan berbagai perlengkapan ritual yang berkaitan dengan kepercayaan atau agama asli, yaitu Sabulungan.
Masyarakat yang tinggal di hutan-hutan dipaksa relokasi ke desa. Wilayah dan hutan adat pun berubah menjadi area konservasi dan perkebunan atau HPH. Para lelaki muda ditangkap. Rambut mereka dipotong pendek. Tradisi tato dan menajamkan gigi pun ikut dilarang. Padahal kebiasaan memanjangkan rambut, menato, dan meruncing gigi adalah tanda kedewasaan bagi masyarakat adat Mentawai.
Untungnya, masih ada pemuda adat seperti Rapot yang mencoba terus mempertahankan identitas adat mereka. Ia mengatakan, Uma masih bisa ditemukan dalam bentuk yang asli di Pulau Siberut. Jadi kalau suatu waktu kamu berkesempatan pergi ke Mentawai, kamu masih bisa melihat bentuk asli Uma, dan dengan senang hati para pemuda adat akan menyambut, seperti yang mereka lakukan pada kunjungan saya yang sangat berharga ini.
Nurdiansyah Dulijo